Untuk pertama kalinya dalam sejarah pembuatan konten di hidup gua, seorang Ifandi Khainur Rahim berhasil membuat konten selama 3 bulan dan sama sekali tidak mendapatkan komentar negatif. Di manakah itu? Yap, di channel Youtube startup gua, yaitu Satu Persen.

Tapi tentu komentar positif ini hanya bertahan selama 3 bulan saja. Alasannya sederhana, karena gua hobi nyari gara-gara lewat artikel dan video kontroversial.

Ya, entah kenapa. Mungkin passion gua yang sebenernya adalah mencari keributan. Kayak gatel aja gitu untuk mengeluarkan pemikiran gua. Sayangnya, pemikiran gua itu seringnya emang gak populer, atau kontroversial.

Gua juga penyuka seni satir. Jadi, jangan kaget kalau lo ketawa-ketawa pas baca tulisan gua. Tapi ketawanya ketawa miris ngetawain diri sendiri, karena sering banget ketika nulis tuh sebenernya gua sedang nyindir lo dalam tulisan gua.

Anehnya, subscriber email-list gua akhir-akhir ini selalu naik. Well, mungkin orang emang suka ‘ditampar’ dan disindir ya? (anyway, gua pernah nulis tulisan tentang kecenderungan semua manusia yang sebetulnya suka self-harm atau menyakiti diri sendiri, lo bisa baca di sini: Self-Harm Terselubung yang Dilakukan Semua Orang, dan Cara Menanggulanginya)

---


Nah ngomong-ngomong tentang komentar jahat. Akhir-akhir ini sedang ngehits sebuah kasus pada anak sekolahan, yaitu kasus pembullyan Audrey (kalo gak tahu, lo bisa cari di google kronologinya, atau klik di sini).

Melihat kasus ini, sebetulnya gua kesel banget dengan orang yang ikut-ikutan nge-bash pelaku pem-bully-nya tanpa bener-bener tahu kejadiannya kayak gimana. Gua juga geram dengan fakta bahwa para “netizen” sok pahlawan tersebut mengaku mengecam bullying. Padahal sebetulnya mereka juga sedang melakukan cyberbullying!

Atas dasar kekesalan tersebut, gua akhirnya membuat video ini (Nonton di sini: Pelaku Penganiayaan Audrey Berhak Mendapatkan Kesempatan Kedua). Video yang gua post di akun startup gua. Dan sejujurnya, gua takut banget pas mau nge-post video ini.

Kenapa takut? Karena ini masalah reputasi dan brand. Risikonya sangat besar bagi channel gua yang masih bayi (baru 1000an subscriber) karena berpotensi di-hate-speech sama orang banyak.

Tapi karena gua menganggap bahwa hal ini penting untuk dibicarakan, gua akhirnya nge-post video tersebut. Yang tentunya gua anggap cukup berisiko. Meskipun gua udah tiga kali sih ngecek seluruh diksi dan kata-kata di dalam script-nya untuk meminimalisir risiko tersebut. Setelah tiga kali cek, gua akhirnya menganggap videonya cukup aman untuk di-upload agar menghindari amarah netizen.

Tapi gua salah. Ternyata tetep ada aja ada netizen yang komentar negatif. Ini udah gua duga sih. Pasti bakal ada aja yang kayak beginian.

Hal yang bikin gua kesel adalah: Bahkan komentarnya tuh bukan ngomentarin substansi di argumen yang gua paparkan. Komentarnya tuh beneran cuman ngarah ke hal remeh yang sebenernya bukan substansinya. Bahkan termasuk logical fallacy karena bukan mengomentari argumennya.


Dan bukan cuma itu. Kalo gua melihat pengalaman di kasus-kasus sebelumnya. Gua jadi sadar bahwa banyak banget juga karya atau tulisan gua yang sempet kena semprot kayak gini. Bukan cuman tulisan yang kontroversial, tapi juga tulisan yang netral!

Katakanlah tulisan gua yang berjudul “Indonesia Butuh Penjaga Warkop, Bukan Psikolog”. Bahkan dalam tulisan itu, yang ke-trigger buat ngomen negatif itu Psikolog yang notabene udah terdidik. Dia mengomentari artikel gua dengan logical fallacy, sambil kesel dan marah-marah. Ya walaupun pada akhirnya komentar-komentar jahat tersebut dibales dengan argumen dan dibela sama netizen lain sih.

Tapi dari sini, kita bisa melihat bahwa fenomena ini bukan cuman terjadi di orang-orang yang (maaf) kurang pinter. Tapi juga semua orang, bahkan yang udah S2 sekalipun.

Melihat fakta tersebut, gua pun mulai menganalisis fenomena ini. Nah yang menariknya adalah gua menemukan pola fenomena lain.

Ternyata bukan cuman tulisan gua doang yang sering kena komentar jahat atau kena semprot. Btw, tulisan gua bisa dibilang wajar lah ya kena semprot. Wajar karena sering banget ngambil sudut pandang yang counterintuitive atau kontroversial.

Ya, tapi ternyata bukan cuman postingan kontroversial doang, yang bisa kena semprot oleh netizen. Netizen tuh bahkan bisa berantem di postingan kejuaraan bulutangkis, atau bahkan video receh dan video kucing!



Di atas adalah contoh video lucu yang udah lama diposting. Tapi... justru semakin relevan gak sih sekarang?

Tentunya, ini semua menjadi pertanyaan:

"What the fuck is happening? What is wrong with the world? Apakah media sosial dan internet mengubah sikap kebanyakan dari kita?"

Ini pun gua telusuri. Sampai akhirnya gua menemukan beberapa alasan kuat yang mendasari perilaku netizen yang kayak gini...

...gak deng, gua bohong. Gua sama sekali gak menemukan alasan kuat yang mendasari komentar-komentar jahat netizen.

Ada ahli yang bilang bahwa alasannya karena internet itu anonymous, sehingga menyebabkan orang abai akan konsekuensi dari hatespeech yang mereka lakukan. Well, make sense sih, tapi… banyak juga kok yang komentar ke gua dan gak anonymous. Bahkan mereka juga pake identitas asli dan nanyain alamat rumah gua.

Ada juga ahli yang bilang alasannya karena internet itu gak membutuhkan komitmen ketika berkomentar. Make sense juga sih, tapi… banyak loh yang kesel dalam waktu lama dan rela meneror komentar orang selama berminggu-minggu.

Contohnya seperti di artikel gua tentang Ahok (baca: Kenapa Kampanye #TolakAhok Harus Segera Berhenti). Di artikel Ahok ini, ada salah satu netizen yang terus-menerus mengomentari gua. Dia terus-menerus mengomentari tulisan gua, meskipun komentar yang ia tulis sudah beberapa kali gua hapus.

Abis gua hapus? Eh dateng lagi. Dua hari kemudian, akhirnya komennya gua hapus. Eh, dia dateng lagi. Gua hapus lagi? Dateng lagi juga. Ini terus berulang sampe akhirnya gua memutuskan untuk mem-block akun haters tersebut dari comment section.

Dari berbagai alasan dan pengalaman yang udah gua sebutkan di atas... Gua malah jadi makin bingung dan bertanya-tanya: Kenapa sih netizen tuh. Kagak ada kerjaan lain apa ya?

Akhirnya, gua pun menyerah untuk mencari tahu. Gua menganggap bahwa… ya ini emang fenomena yang udah ditakdirkan untuk terjadi. Dan bisa jadi, gak ada atau sedikit yang bisa kita lakukan sekarang untuk mencegahnya. Ya, sekarang sih belum ada, gak tahu nanti sore :).

Ironisnya, sebetulnya saat ini kita tuh sedang hidup di zaman yang sangat amat enak, sangat amat maju, dan sangat amat baik dibandingkan sebelumnya.

Kita menikmati banyak banget privilege yang gak dialami oleh peradaban sebelumnya. Demokrasi, HAM, free-speech, tingkat kesehatan dan kemiskinan, kemajuan teknologi (Go-Jek, Google, dan semua media sosial, you name it), dan banyak lagi kemajuan yang sedang berada di puncaknya saat ini.

Ya, kita berada di zaman di mana peradaban dan kemajuan teknologi sedang ada dalam kondisi yang sebaik-baiknya dibandingkan sebelumnya.

Tapi kenapa kok tiap tahun kayaknya tingkatan moral manusia tuh menurun? Kenapa muncul budaya hate-speech dan komentar-komentar jahat? Kenapa netizen kok nyebelin dan berantem mulu?

Media dan kondisi jurnalistik juga sepertinya semakin berkurang kualitasnya. Apalagi kalo udah ngomongin gosip dan politik. Kita seperti sedang terpolarisasi di mana-mana. Seakan-akan banyak garis demarkasi muncul di antara kita. Feminis dan anti-feminis. Sekuler dan religius. Progresif dan konservatif. Kiri dan kanan. Dan banyak lagi.

Sebagai content creator, tentu hari-hari berkarya di zaman ini adalah sebuah keberuntungan yang baik, sekaligus sebuah nasib yang buruk.

Kita sebagai content creator beruntung karena karya kita akan jauh lebih mudah ditemukan. Zaman sekarang, teknologi semakin maju. Sekarang semua orang bisa membuat karya seni dan mempublikasikannya di internet, lalu menjadi viral dengan mudah.

Tapi di sisi lain, zaman sekarang juga tidak mendukung kita, terutama para content creator. Masalahnya tuh gini, untuk menjadi populer, kita perlu masuk ke salah satu kubu. Entah itu kubu kiri, kanan, atas atau bawah. Kalo kita tidak menentukan posisi, alias netral, akan sangat sulit bagi kita untuk mendapatkan atensi publik. Kita harus meng-offend pihak lain demi kenaikan karir kita.

Sayangnya, menentukan posisi dan sikap juga bukan berarti tidak ada risiko yang dipertaruhkan. Memang sih, dengan menentukan sikap dan posisi, hasilnya bisa high-return. Masalahnya, reputasi dan brand kita juga dipertaruhkan. Salah-salah kata sedikit saja, kita bisa menjadi viral dan dicaci-maki oleh ribuan netizen.

Ya, fenomena public shaming sedang marak-maraknya di media sosial. Implikasinya? Sekalinya kita salah, semua karya baik kita sebelumnya tidak akan dianggap. Kita akan habis dalam amukan cyberbullying netizen, yang tentunya bisa menghancurkan karir kita dalam sekejap.

Gua udah melihat banyak banget kasus di mana orang hidupnya hancur karena di-public shaming dan dihujat oleh massa secara online. Bahkan sampai dituntut ke meja hijau hanya gara-gara salah sebut kata atau kalimat.

Di zaman sekarang, gak perlu deh video bokep lo kesebar. Lo typo atau ngasih pendapat yang berbeda dengan pemerintah aja lo bisa dipenjara. Ya, undang-undang kita mengatur itu, gengs. UU ITE yang menurut gua sangat amat mengerikan.



Sekarang tuh udah gak  ada yang aman dari bahaya jejak digital. Semua orang bisa kena. Itu mengerikannya. Mau lo politisi, pemusik, atau netizen biasa. Lo terancam akan bahaya ini.

Makanya, gak heran kalo sekarang banyak ahli yang mengatakan bahwa media sosial itu semakin lama semakin toxic. Bukan hanya karena sistem social rewarding-nya yang membuat kita addict dan merusak otak kita. Tapi juga karena media sosial bisa menghancurkan hidup kita, literally.

Tapi, tentu gua bukan orang yang mau menghilangkan media sosial dan internet dari hidup gua. Gua adalah orang yang menganggap bahwa media sosial dan internet itu punya power yang cukup kuat. Layaknya pisau, kita bisa memakainya untuk hal yang baik, atau kita bisa menyayat tangan kita sendiri.

Jadi, kesimpulannya apa dong?

Menurut gua, yang sekarang bisa kita lakukan adalah:

Sadari bahwa komentar jahat akan selalu ada. Risiko juga akan selalu ada.

Yang paling penting adalah bahwa kita harus membebaskan diri dari jeratan toxic media sosial. Kita harus menggunakan media sosial dengan bijak.

Dan yang terakhir: Jangan sampai kita menjadi “mereka”, para pahlawan (sok) “penyelamat internet” yang tidak sadar akan kemunafikan dan ke-toxic-an mereka.

Ya, mereka yang merasa menyelamatkan orang akan pembelaannya, padahal sama toxic-nya dengan orang jahat dan pem-bully.

Eh, bentar. Apakah dengan gua bilang mereka toxic, itu juga memperlihatkan bahwa gua juga toxic?! Anjir! Bener kan hipotesis gua. Komentar jahat dan hatespeech akan selalu ada, kapanpun dan di manapun. Bahkan dalam diri kita sendiri.

Ya, seperti kata orang buser. “Waspadalah, waspadalah”.

Anda telah membaca Freewriting oleh Ifandi Khainur Rahim.

Salam hangat.