Entah dua atau tiga minggu setelah Tsunami Anyer. Gua memutuskan untuk pergi ke Psikolog. Kebetulan di Fakultas Psikologi UI sedang ada layanan psikolog gratis. Dan kami, korban yang terkena tsunami diprioritaskan untuk konseling langsung ke psikolog.

Eh, gua belum cerita ya? Yep, gua abis kena Tsunami di Anyer.


Waktu Tsunami sedang terjadi. Kami sedang berkumpul di bibir pantai di daerah Anyer. Kami mengadakan sebuah acara yang bernama Plato. Plato adalah singkatan dari ‘Pleno Akhir Tahun’, acara terakhir dari BEM Fakultas Psikologi UI periode 2018.

Sampe masuk ke LINE Today
Tapi meskipun terdapat kata ‘pleno’ dalam nama acaranya. Di dalamnya sama sekali tidak ada rapat pleno.

Inti dari Plato adalah having fun. Bisa dibilang, Plato adalah acara jalan-jalan di akhir tahun. Dengan kata lain, liburan. Tentu kita butuh liburan setelah setahun sibuk bertugas mengurus organisasi. Hohoho.

Well, siapa yang sangka. Hal yang awalnya kami pikir hanyalah sebuah liburan, ternyata malah jadi pengingat kematian.

Anyway, untungnya semua orang masih hidup dan selamat. Gua sendiri ngerasa kalo gua beruntung. Karena gua gak terkena dampak negatif apapun dari tsunami ini.

Berbeda dengan temen-temen gua yang mungkin cedera, luka-luka, barang-barangnya hilang, dimarahi orang tua, dan lain sebagainya. Gua sama sekali gak kenapa-kenapa.

Ya, setelah Tsunami, sejujurnya gua sama sekali gak ngerasa bahwa gua punya masalah.

Sampai pada akhirnya gua memutuskan untuk pergi ke Psikolog....

Menariknya, pergi ke Psikolog malah membuat gua merasa bahwa gua memiliki masalah. Masalah yang (ternyata) jauh lebih besar daripada trauma sehabis terkena Tsunami. Hadeh.

Btw, funfact nih. Meskipun gua adalah mahasiswa Fakultas Psikologi. Sejujurnya gua belum pernah melakukan terapi atau konseling ke Psikolog. Seumur hidup gua gak pernah melakukan itu. Menarik ya? Hehe.

Yep, hal ini karena dari dulu gua gak pernah merasa butuh untuk konsultasi. Selama ini, gua bisa menyelesaikan sendiri semua masalah gua. Mulai dari masalah kecil sampai dengan masalah besar.

Alasan lainnya juga karena… Gua secara pribadi gak terlalu percaya dengan ilmu Psikologi.

Ilmu ini terlalu abu-abu. Diagnosisnya gak jelas dan gak objektif. Science-nya pun terdiri dari berbagai macam aliran (yang lagi-lagi, sangat amat subjektif).

Dan yang lebih buruk lagi adalah fakta bahwa sehat dan sakitnya gua, sekaligus benar dan salahnya hidup gua itu ditentukan hanya oleh pemikiran dan omongan si Psikolog ini.

“Harusnya lo gak ke Psikolog sih… Van!”

Damn. Bener sih, harusnya gua gak usah pergi ke Psikolog. Pergi ke Psikolog ini malah menambah masalah gua. Gua yang awalnya biasa-biasa aja, malah jadi mikir kalo misalnya gua itu punya banyak masalah.

Oh iya, lo bisa tebak gak masalahnya itu apa? Yang jelas sih masalahnya bukan tentang Tsunami. Sama sekali bukan.

Ini masalah yang mungkin gua pendam selama sekitar 4 tahun, tapi baru gua sadari sekarang karena momen pertemuan dengan Psikolog ini.

Semuanya berawal dari tiga kata yang diucapkan oleh Psikolog yang menangani gua di klinik waktu itu.

“Respons kamu (terhadap masalah itu) maladaptif.” - Psikolog

‘Respons maladaptif’ berarti penanganan stress dan penanganan masalah yang gua lakukan, selama ini menimbulkan dampak negatif. Arti katanya sama kayak malpraktik, atau malfungsi, atau mal…. Ya banyak deh pokoknya. Intinya, artinya negatif.

Sejak saat itu, gua mulai mikir. Gua mulai refleksi diri. Dan ternyata, Psikolog gua ada benernya, sih.

Setelah gua menganalisis dan merefleksi diri. Ternyata emang banyak banget penanganan masalah yang gua lakukan yang merupakan respons coping maladaptif.

Btw, buat lo yang belum tahu “coping” itu apa. Itu adalah arti (atau istilah psikologi) dari “penanganan masalah”.

Dan… dampak dari coping itu jelas merupakan dampak yang buruk. Untungnya, selama ini keberuntungan selalu berpihak kepada gua.

Dan gua sebenernya selalu bersyukur. Meskipun coping gua maladaptif, Alhamdulillah hidup gua aman-aman aja. Bahkan bisa terbilang cukup sukses sebagai mahasiswa.

Ya, setidaknya gua bisa diterima sebagai mahasiswa UI. Bahkan sampai menjadi Ketua BEM Fakultas. Sebuah achievement yang gak pernah gua sangka akan gua dapatkan.

Sayangnya, achievement tersebut adalah hasil dari impulsivitas dan spontanitas yang gua lakukan.

Menjadi seorang yang spontan dan impulsif merupakan kebiasan gua. Dan kebiasaan tersebut selalu gua anggap sebagai coping yang baik. Padahal gak juga (tapi gua akui mungkin bagus sih untuk beberapa hal).

Btw, ada fun fact lagi: Impulsivitas itu salah satu ciri-ciri dari psikopat, lho. Oke lanjut.

Sebetulnya, gua selalu berpikir bahwa gua telah sampai pada level self-awareness tertentu di mana gua tidak lagi membutuhkan Psikolog. Hal ini karena: Setiap masalah yang gua alami, gua selalu selesaikan sendiri.

Kalaupun butuh orang lain. Biasanya gua cuma butuh teman curhat. And then, done. Semua masalah selesai dan semua kembali normal.

Ya, semuanya memang kembali normal… kecuali satu hal: Gua gak pernah mau mengakui bahwa kebiasaan coping gua ini berdampak buruk. Gua sadar bahwa sebetulnya dampak yang dihasilkan seharusnya bisa tidak seburuk yang terjadi jika gua melakukan coping lain.

Banyak orang yang terluka dan tersakiti karena kebiasaan ini. Termasuk diri gua sendiri. Tentu gua gak pernah menganggap coping ini sebagai sebuah masalah. Sampai akhirnya, gua sadar sehabis konseling dengan Psikolog.

Berikut adalah beberapa contoh coping yang seharusnya gak gua lakukan (atau seenggaknya harusnya bisa lebih baik dari ini):

1. Gak ikut wisuda

Ikut wisuda itu sebetulnya gak merugikan banget. Tapi waktu itu gua merasa bahwa wisuda tuh gak penting-penting amat dan merugikan. Selain karena gua harus menghabiskan 800ribu rupiah untuk daftar. Gua juga harus ribet nyiapin baju, panas-panasan, foto-foto yang sebenernya…. Emang manfaatnya apa sih?

Gitu. Itu adalah pandangan gua terhadap wisuda.

Tapi gua gak pernah mencoba berempati pada teman-teman gua. Pada orang tua gua. Pada banyak orang yang mungkin sudah merencanakan untuk meluangkan waktu, harapan, dan ekspektasinya sendiri terhadap gua. Orang-orang yang udah suportif banget.

Bahkan ada stranger (kakak tingkat) yang gak gua kenal yang ngasih gua uang 700ribu untuk daftar wisuda. Tapi uangnya gak gua pake buat wisuda (gua lupa uangnya gua pake buat apa bahkan).

Dan karena gua gak memberitahu semua orang bahwa gua gak akan wisuda. Alhasil, cukup banyak orang yang protes. Ada yang udah datang jauh-jauh membawa hadiah. Ada yang bawa bunga. Ada yang bawa coklat. Dan yang paling penting, semuanya udah nyisihin waktu.

Eh tapi gua-nya gak ada.

Padahal, gua bisa aja tetep ikut wisuda. Atau seenggaknya dateng ke wisuda meskipun gak wisuda. Ya dateng aja gitu, untuk menghormati mereka yang mencoba untuk dateng juga.

Gua bisa aja mencoba untuk menyisihkan waktu gua selama beberapa jam untuk ikut wisuda. Ya seenggaknya untuk bahagia bersama. Atau setidaknya untuk membahagiakan temen-temen gua, orang tua gua, dan semua orang yang peduli dengan gua.

Tapi itu gak gua lakukan. Gua lebih memilih untuk diem di kostan. Padahal, jarak kostan gua ke tempat wisuda itu cuman 15 menit kalau jalan kaki. Kalau naik motor mungkin 5 menitan.

Ini adalah respons maladaptif gua yang pertama.

2. Gak bikin acara angkatan

Selain menjabat sebagai Ketua BEM, gua juga sebetulnya punya jabatan sebagai Ketua Angkatan di Fakultas Psikologi UI angkatan 2015.

Dari dulu, gua termasuk orang yang sangat amat peduli dengan kekompakan angkatan gua. Namun karena beberapa acara dan momen terakhir dengan angkatan gua kurang memuaskan. Gua akhirnya memutuskan untuk gak terlalu peduli dan ngurusin angkatan ini lagi.

Beberapa contoh dari momen kurang memuaskan adalah saat gua mengadakan makrab (malam keakraban). Saat gua mengadakan makrab, dari 280an mahasiswa. Orang yang hadir hanya sekitar 70 orang (kalau tidak salah ya).

Acara foto angkatan yang gua bikin pun tidak seramai yang gua kira. Mungkin hanya sekitar 100an orang yang datang? Atau bahkan kurang. Gua lupa jumlahnya. Yang jelas jumlahnya tidak sampai setengah. Sisanya? Entah gak dateng karena gak ada waktu atau emang gak peduli aja dengan acara tersebut.

Well, akhirnya gua pun memutuskan untuk tidak meneruskan tradisi tahun-tahun sebelumnya, yaitu tradisi untuk membuat last performance.

Gua pikir, tradisi itu hanya akan membuang-buang waktu, tenaga, dan uang. Spesifiknya, tentu hal itu akan membuang waktu, tenaga, dan uang gua. Gua merasa bahwa tenaga dan kepedulian gua bisa digunakan untuk hal lain yang lebih penting dibandingkan last performance.

Gua pengen meniadakan last performance. Budaya yang dibentuk selama bertahun-tahun dan selalu diteruskan.

Of course, setiap inovasi dan perubahan akan menghasilkan konflik. Tentu akan ada benturan terhadap orang yang menginginkan budaya tersebut tetap dilanjutkan. Gua sudah sangat menduga akan terjadi ‘benturan’.

Well, gua sebetulnya bisa aja mengusahakan terlebih dahulu agar acara tersebut bisa diadakan. Baik itu dengan sistem voting atau mendelegasikan pembentukan acara ini ke orang lain.

Tapi…. Nggak. Gak gua lakukan.

Ya, gua bisa aja melakukan hal itu. Tapi gak gua lakukan.

Kenapa? Ya… nggak aja, sih.

Ya, ini adalah contoh coping maladaptif kedua yang gua lakukan.

Padahal, gua bisa aja meluangkan waktu beberapa menit untuk berbicara dengan orang yang kira-kira bisa melaksanakan acara. Yang pada akhirnya tentunya bisa membuat acara ini tetap dilaksanakan tanpa membuang waktu dan tenaga gua.

Hal ini juga tentu bisa dilakukan untuk meminimalisir konflik. Tapi ya nggak gua lakukan. Kenapa? Ya nggak aja.

Ya, ini dia maladaptifnya. Di sini.

3. Resign dari pekerjaan secara mendadak.

Di bulan Januari 2019. Gua sebetulnya udah punya pekerjaan full-time di sebuah startup kesehatan mental di Jakarta.

Tapi, gua memutuskan untuk resign dan hanya mengabari bos gua via aplikasi chat yang gua kirim sehari sebelum resign. Ya, gua bilang bahwa gua pengen resign hanya dalam selang waktu sehari saja.

Alasannya terlalu personal dan kompleks untuk gua jelaskan. Tapi bisa gua bilang bahwa hal ini adalah coping gua yang paling maladaptif dibandingkan coping yang lainnya. Karena berdasarkan alasan rasional apapun, kerugian yang gua dapatkan dari hal yang gua lakukan ini jauh lebih banyak dibandingkan benefitnya.

Padahal, gua bisa aja mengabari teman kerja dan bos gua dengan lebih sopan. Gua juga bisa aja menunggu beberapa hari supaya gua bisa dapet gaji gua di bulan tersebut.

Tapi? Nggak. Gua gak melakukan itu.

Karena ego diri gua sendiri, gua lebih memilih untuk gak diberikan kompensasi. Gua juga lebih memilih untuk keluar saat itu juga.

Benefitnya? Gua bisa keluar dari pekerjaan yang gak gua suka lebih cepat. Selain itu gua juga bisa membuat Satu Persen (startup gua) lebih cepat. Tapi kerugiannya? Banyak.

---

Sebetulnya yang gua tuliskan di atas itu adalah coping maladaptif terbaru gua di tahun 2019. Di tahun-tahun sebelumnya, ada beberapa lagi yang udah pernah gua lakukan. Berikut adalah list singkatnya (aslinya jauh lebih banyak):

1. Membuat tulisan terbuka kepada dosen
2. Bikin surat terbuka ke kakak tingkat ketika dia bikin proker yang gak sesuai dengan keinginan gua
3. Memobilisasi gerakan protes ke Dekan tentang kantin
4. Tiba-tiba gak pengen maju jadi Ketua BEM dan mengecewakan teman
5. Dan banyak lagi

Hal-hal yang gua lakukan di atas sebetulnya gak pernah gua sesali. Karena memang ada banyak alasan di belakangnya yang membuat gua merasa kalau coping tersebut adalah hal yang tepat untuk dilakukan.

Tapi setelah dipikir-pikir secara rasional. Banyak keputusan di atas yang melibatkan ego semata. Ego yang sebetulnya jika diminimalisir, maka akan banyak dampak negatif yang dapat ditanggulangi. Tanpa mengurangi dampak positif dari keputusan yang gua lakukan.

Yaaa, at least gua sadar sih sekarang.

Gua sadar gua salah. Tapi, gua tetap merasa bahwa keputusan yang sudah gua lakukan adalah hal yang gak perlu disesali.

Keputusan gua sebelumnya gak bisa disalahkan sepenuhnya. Itu adalah keputusan yang kurang efektif aja, dan menghasilkan dampak negatif.

Bagusnya, sejak ke Psikolog gua jadi lebih peka dengan sekitar. Terutama peka dengan diri gua sendiri. Ini yang paling penting sih, gua jadi belajar untuk lebih peka dan aware dengan diri gua sendiri.

Karena ketika gua aware dan lebih peka dengan diri gua. Gua akan bisa membuat keputusan yang jauh lebih rasional, efektif, dan efisien. Gua akan bisa menjauhkan ego gua dari semua keputusan-keputusan tersebut untuk mencapai hasil yang maksimal.

Pergi ke Psikolog adalah latihan yang baik untuk belajar menjadi manusia yang vulnerable. Terutama buat orang kayak gua. Orang yang merasa bahwa dirinya bisa menyelesaikan semua masalahnya sendiri. Nggak sih.

Ini hal paling penting sih yang gua pelajari.

Kadang, kita perlu belajar menjadi vulnerable. Belajar menjadi lemah. Belajar untuk nurut. Belajar untuk menyerah pada keadaan. Belajar untuk mengikuti mainstream. Belajar untuk menjadi mediocre.

Ya, karena kita adalah manusia. Dan kadang kita perlu menerima bahwa diri kita itu punya keterbatasan. Menerima bahwa kadang, kita juga butuh bantuan. Gak selamanya kita bisa menyelesaikan sendiri semua masalah kita.

Kadang, kita harus rehat sebentar dari tujuan dan ego kita. Dan mungkin mencoba untuk menyenangkan orang-orang yang ada di sekitar kita. Ya, mencoba menjadi lemah dan vulnerable sejenak ternyata kadang diperlukan. Mencoba untuk mengikuti arus (seperti ikut wisuda misalnya wkwk), itu juga terkadang diperlukan.

Ya, seenggaknya gua sadar lah ya, meskipun telat.

Terima kasih sudah membaca. Scroll terus ke bawah dan daftar email-list gua untuk tulisan dan pemikiran yang lebih unik (atau aneh… atau keren).

Salam hangat, Ifandi Khainur Rahim