Lo inget gak sih apa yang lo lakukan di tanggal 8 Agustus 2015? Tanggal 8 Mei 2017? Atau... Tanggal 6 Januari 2018?

Sejujurnya. Gua nggak inget.

Sampe akhirnya gua membuka archive instagram story akun gua. Yep, banyak hal yang gua lupakan. Untungnya, semua itu terekam oleh instagram story.

Gua adalah pengguna aktif instastory. Entah kenapa, instastory merupakan kanal yang menarik. Kayak… selalu aja ada dorongan untuk nge-post tentang sesuatu atau ngeliat postingan orang lain.

Padahal, ngeliat atau ngepost instastory itu gak selalu ngasih dampak positif. Bahkan, gua merasa bahwa dampak instastory terhadap hidup gua itu 50%-nya negatif.

Kadang instastory bikin gua iri dengan achievement orang lain. Atau iri dengan tempat
liburan mereka. Kadang instastory orang bikin gua kesel. Gak jarang juga gua ngerasa kalo main instastory itu buang-buang waktu. Tapi tetep aja, gua ngeliat dan mainin instastory terus-terusan.

Untungnya, 50%-nya positif. Instastory sebetulnya menghemat waktu kita. Karena kita gak perlu nanya-nanya lagi apa yang teman kita lakukan. Kita bisa tahu kegiatan mereka apa aja di hari itu. Dan ngasih komentarnya langsung, real-time.

Selain itu, yang menurut gua paling bermanfaat adalah fitur archived-nya. Instastory itu seperti diari berjalan. Diari yang membuat gua ingat semua hal tentang gua. Dan ini gak bakal ilang (kecuali si Instagram tiba-tiba memutuskan untuk nge-delete archive-nya)

Sayangnya, instastory itu gak secure. Yep, nanti gua akan post sebuah artikel tentang cyber security dan bahaya jika kita gak siap dengan ancaman cyber. Nanti kita ngomongin cyber security ya, karena di tulisan kali ini gua gak mau ngomongin tentang itu.

Gua mau ngomongin tentang memori.
Setelah melihat archive instastory gua selama beberapa saat. Gua sedikit termenung. Karena gua baru menyadari bahwa selama hampir 22 tahun gua hidup. Ternyata, hanya sedikit yang gua ingat tentang hidup gua.

Gua hanya ingat beberapa bagian dalam hidup gua. Yang bahkan kalo lo belajar Psikologi Forensik dan Psikologi Kognitif, lo akan tahu bahwa ingatan lo itu kemungkinan besar misleading. Ya, false memory. Gak jarang otak kita itu mengkonstruksi sendiri memori sehingga pada akhirnya akan mendistorsi kejadian aslinya dalam ingatan kita.

Dan… ini sangat menyedihkan.

Kayak, kalo ditanya siapa Evan, ya gua akan menjawab bahwa Evan adalah orang yang X, Y, Z. Di mana “X, Y, dan Z” ini mainly adalah memori hidup gua, yang mana ketika memorinya hilang, rusak, atau terdistorsi dan gak bisa gua inget.

Ya diri gua juga hilang bersama memori tersebut.

Coba deh lo tanya sama diri lo sendiri. Kalo suatu hari lo amnesia. Dan lo bangun. Apakah diri lo tetap diri lo yang sama? Atau… bukan?

Well, pikiran ini sejujurnya mengganggu otak gua selama beberapa hari sebelumnya.

Akhirnya, gua mencoba mencari referensi di internet tentang pemikiran gua ini. Dan gua menemukan sesuatu yang menarik.

Ada seorang fotografer yang mencoba untuk memfoto semua kejadian yang ia alami sehari-hari.

Bisa dibilang, fotografer ini adalah kebalikan dari gua. Ketika gua gak bisa inget memori tentang pengalaman gua. Karena emang gua jarang instastory lagi dan gak pernah foto-foto.

Menariknya, justru ia merasa bahwa ia terlalu banyak menggunakan kameranya agar bisa lebih mengingat hidupnya.

Hal yang menarik lagi adalah bahwa berdasarkan riset: Ternyata  terlalu banyak menggunakan kamera (setiap saat) justru akan mengurangi kemampuan memori kita. Dan akan mendistorsi indra kita ketika kita sedang mengalami momen (dalam hidup).

Ya, ketika lo sering banget memfoto kejadian yang lo alami. Pengindraan lo akan berkurang sensitivitasnya. Dan lo gak akan mengingat kejadian itu dengan baik. Terutama jika dibandingkan dengan orang yang gak pake kamera sama sekali.

Ya, penggunaan kamera justru membatasi indra dan memori kita.

Contohnya gini. Katakanlah lo punya kesempatan untuk main ke suatu tempat wisata bareng temen lo. Lalu, lo memutuskan untuk ngambil buanyak banget foto dan video di tempat wisata tersebut, pake HP lo. Di sisi lain, temen lo memutuskan untuk gak pake HP sama sekali.

Siapa yang memorinya lebih baik?

Exactly! Ternyata orang yang gak pake HP dan kamera sama sekali.

Karena gini. Ketika lo menggunakan HP dan kamera untuk merekam dan mendokumentasikan momen yang lo alami.

Kemampuan pengindraan lo berkurang.

Lo gak akan bisa inget kayak gimana bau dan suasana di tempat wisata itu.

Lo gak akan bisa inget gimana dingin atau panasnya tempat wisata itu.

Lo gak akan bisa inget emosi yang lo rasakan saat di tempat itu.

Dan lo gak akan bisa inget suara yang lo denger di tempat itu.

Lo gak akan bisa lebih baik mengingat semua hal tersebut dibandingkan dengan orang yang gak pake HP dan kamera

Ya, itulah kelemahan dari HP (atau kamera).


"Terus gimana dong cara untuk mengingat hidup kita dengan lebih baik? Gimana caranya biar kita bisa live in the present, dan gak lupa banyak memori?"

Caranya gini:

Pertama-tama, jangan buang HP lo. Ambil foto. Record instastory. Dan mungkin beberapa video. Ya, beberapa aja. Mungkin 3 atau 5.

Tapi setelah mengambil foto, video, instastory, dan apapun itu yang lo butuhkan. Lo harus buang hape dan kamera lo. Bukan literally dibuang yah btw, tapi jangan dipake aja.

Di momen pembuangan inilah saatnya. Ya, inilah saat di mana lo akan menggunakan 100% otak dan pengindraan lo untuk mengingat momen-momen ini. Cobalah untuk live in the moment. Bernafaslah. Buat diri lo sadar sedang berada di momen tersebut secara utuh.

Coba lihat landscape-nya yang indah dengan mata kepala lo sendiri.

Coba dengar suara yang muncul.

Coba rasakan dingin atau panasnya cuaca saat itu.

Dan coba sentuh hal yang lo bisa sentuh. Rasakan teksturnya.

Tenggelamkan diri lo dalam suasana wisata di tempat tersebut.

Lalu setelah pulang, coba tulis hal yang lo alami. Ya, refleksikan apa yang terjadi dengan lo. Post ke website. Mungkin, lo juga bisa menambah wisdom yang lo dapet dari pengalaman lo.

After all, filsuf-filsuf Yunani yang terkenal dan mengubah dunia sebetulnya bukanlah mereka yang menganggap diri mereka bijaksana dan menuliskan hal tersebut.

Tapi filsuf Yunani dulu bisa terkenal karena mereka cinta dengan ilmu pengetahuan. Dan mereka memilih untuk menjalani hidup yang mereka mau dan menurunkannya ke murid mereka dan kepada masyarakat.

Cara mereka untuk menurunkannya ke murid mereka atau masyarakat adalah dengan menuliskannya. Agar kebijaksanaan yang mereka punya bisa tetap abadi sampai ke generasi selanjutnya.

Makanya, selain mengambil foto dan live in the present, gua juga memilih untuk menulis.

Menulis akan meningkatkan kemampuan kita dalam mengkonstruksi pemikiran-pemikiran yang abstrak. Menulis akan membuat pemikiran kita abadi. Dan yang terpenting, menulis akan membuat kita bisa mengidentifikasi kesalahan dan kebaikan yang kita lakukan di masa lalu, dan menyebarluaskannya ke semua orang yang membacanya.

Menariknya, kita gak pernah tahu siapa yang akan membaca dan mengambil inspirasi dari tulisan kita.

Bisa jadi orang yang membaca adalah the next Steve Jobs. The next Elon Musk. Atau the next Soekarno. Dan mereka terinspirasi oleh tulisan kita.

Kita gak pernah tahu. Yang kita tahu adalah bahwa dengan menuliskan pengalaman dan wisdom yang kita dapatkan. Kita akan bisa sedikit (atau banyak) berkontribusi bagi dunia. Sekaligus mendapat pahala (kalau lo percaya surga).

Well, sekian tulisan dari gua, thanks. Semoga lo bisa mengingat hidup lo dengan lebih baik.

Part 2 akan menyusul, yaitu tentang peran musik dalam membantu kita mengkonstruksi memori masa lampau dengan terstruktur.

Salam hangat,
Ifandi Khainur Rahim (Evan)