Kalau boleh berkata jujur, saya adalah orang yang sangat sekuler. Well, mungkin beberapa dari anda mengernyitkan dahi ketika mendengar kata ‘sekuler’. Menurut saya pribadi, sekarang kata tersebut sudah menjadi kata yang dianggap tabu (oleh sebagian orang) dan dianggap negatif oleh beberapa kaum agamis, karena mungkin dianggap tidak sesuai dengan ajaran agama yang dianutnya.

Padahal, definisi sekuler sebetulnya netral, biasa-biasa saja, tidak ada sisi negatifnya terhadap agama apapun. Definisi sekuler menurut saya simpelnya adalah pemisahan antara agama dan pemerintahan serta kehidupan bermasyarakat. Jadi, agama tidak usahlah menjadi bahan pertimbangan dalam pembagian kekuasaan, pemerintahan, dan lain-lain untuk mengatur masyarakat. Dalam hal ini, tentu saya sangat setuju, terutama jika diterapkan di Indonesia, kenapa?

Sebab, negara dan masyarakatlah yang seharusnya mengatur pemerintahan dan kehidupan bermasyarakat negara tersebut, bukan aturan agama. Jika melihat kondisi negara Indonesia, tentu hal tersebut merupakan hal yang tepat, bukan? Karena Indonesia merupakan negara yang heterogen (beragam), bukan hanya agama Islam atau Kristen yang ada di Indonesia, tapi buanyak. Oleh karena itu tidak bolehlah itu si ‘hukum positif’ hanya berdasarkan kewajiban dari salah satu agama, sebab setahu saya, dalam agama tidak ada ajaran untuk “memaksa” orang menaati hukum agama (tolong koreksi saya jika salah). Jadi, ya sudah, agama dan pemerintahan dipisahkan saja, toh orang yang agamis masih bisa menjalankan perintah dan menjauhi larangannya, orang yang non-agamis bisa menghormati orang yang agamis #everybodywins.

Bayangkan saja hukum yang berasal dari salah satu agama tersebut harus ditaati oleh orang yang menganut agama lain yang tidak wajib menganutnya, sehingga aktivitasnya jadi terhambat. Kalau begitu, bukankah negara yang menyelenggarakan hukum tersebut menduakan rakyatnya? Rakyat yang tidak wajib mentaati menjadi terbebani dan terduakan (kasihan yah, sudah cukuplah sama pacar saja diduainnya). Kasarnya, menurut saya sebagian rakyat yang tidak wajib menjalankan peraturan tersebut seperti dianak-tirikan.

Namun, meskipun saya sangat mendukung sekulerisme, hal yang barusan saya katakan (dan garis bawahi) di atas menimbulkan beberapa pertanyaan (“negara dan masyarakatlah yang seharusnya mengatur pemerintahan dan kehidupan bermasyarakat negara tersebut, bukan aturan agama”).

Lalu, bagaimana jika masyarakat Indonesia sendiri meminta peraturan di Indonesia berdasarkan salah satu agama? Bagaimana jika masyarakat di sebuah daerah di Indonesia meminta peraturan dari suatu agama dibuat menjadi peraturan daerah? Karena diminta, diaspirasikan, diinginkan oleh masyarakat di suatu daerah tersebut? Let’s say bahwa daerah tersebut adalah di Serang, Papua, atau Bali yang membuat perda berdasarkan salah satu agama.

Ea, bingung ugha kan?

Negara Indonesia bukanlah negara agama, namun bukan juga negara sekuler – Menteri Agama, 2015

Ya, menteri agama sendiri yang bilang bahwa Indonesia bukanlah negara agama maupun negara sekuler. Namun, pertanyaan yang harus dijawab menurut saya adalah: Ada gak sih batasan secara tertulis dan jelas tentang hal tersebut?

Mengapa hal tersebut mesti dijawab? Sebab sebuah dasar hukum yang multitafsir itu gak bagus! Lha iya, dasar hukum kok ambigu. Bayangkan jika kaum agamis menganggap batasannya adalah ‘A’ dan kaum sekuler menganggap batasannya adalah ‘B’. Ini jelas-jelas akan mudah menyulut perpecahan, seperti yang terjadi akhir-akhir ini di media sosial tentang kasus warteg Ibu Saeni antara yang pro dan kontra perda yang ada di Serang. Ada yang bilang itu aspirasi masyarakat sono lah, ada yang bilang itu intoleran lah, dan sebagainya. Padahal, itu seperti debat kusir yang tidak akan ada habisnya, terutama tanpa batasan yang jelas dari negara. Simpelnya, pertanyaan yang harus dijawab oleh negara adalah: Sampai seberapa jauhkah tingkat kesekuleran dan keagamisan yang boleh ada di Indonesia?

Selain batasan yang jelas, hukum di Indonesia sebetulnya HARUS ADA KADALUARSANYA. Simply karena zaman dan situasi selalu berubah dan hukum itu dijalankan oleh orang yang masih hidup, bukan orang yang sudah mati. Sedikit OOT, saya seringkali gatel dengan orang yang teriak-teriak “bahaya laten kuminis” dan membubar-bubarkan diskusi intelektual yang membahas tentang kuminis. Diskusi publik yang membahas kuminis seakan-akan dianggap sebagai kebangkitan partei kumininis indon (bukan typo wkwk) yang mungkin sudah punah belasan tahun lalu dan tidak mungkin bangkit lagi di era ini (mungkin saja bangkit sih, van…… #OkeAbaikanAq), sehingga diskusi tersebut banyak dibubarkan, bahkan secara paksa. I mean, apakah hukum atau ketetapan itu masih harus berlaku di zaman globalisasi seperti ini? Zaman di mana seharusnya tidak ada batasan terhadap informasi dan pendidikan? Zaman di mana banyak orang dapat didoktrin dengan mudah dengan informasi palsu? Yang akhirnya akan membuat kuminis bangkit lagi karena doktrinisasi info palsu yang disebabkan oleh kurangnya diskusi intelektual tentang kuminis di masyarakat? #BahayaLatenKuminis #AbaikanLagi.

Intinya, hukum harus punya tanggal kadaluarsa, entah 15 atau 20 tahun sekali, supaya hukum-hukum yang irrelevan dengan zaman sekarang dibuang/direvisi dengan yang relevan, supaya kejadian kecacatan peraturan seperti bentrok supir taksi atau fenomena debat warteg Ibu Saeni tidak terjadi (lagi). Jangan sampai terulang lah.

Ya, saya punya dua tuntutan yang entah untuk siapa (mungkin untuk saya sendiri, elit politik atau generasi selanjutnya) dan ini juga mungkin sepertinya agak ngawur (karena saya tidak terlalu mengerti tentang hukum, baik secara umum maupun secara khusus di Indonesia, mohon maaf):

1. Membuat batasan yang jelas tentang pembuatan peraturan. Seberapa sekuler dan agamiskah dibolehkannya sebuah peraturan di Indonesia? Bagaimana proses pembuatan perda? Mengapa ada daerah tertentu yang dibuat peraturan daerah dengan landasan sebuah agama tertentu? Bagaimana prosesnya? Apakah itu betul-betul aspirasi penduduknya? (Aceh, Bali, Serang, Papua. Dsb). Agar tidak ada rakyat / penduduk yang dianak-tirikan.

2. Membuat batas kadaluarsa peraturan. Sekali lagi, karena yang menjalankan peraturan itu adalah orang yang hidup, bukan orang yang sudah lama mati. Zaman dulu belum ada taxi online, kuminis banyak merajalela, dan mungkin banyak fenomena lain, sehingga dibuatlah peraturan atau ketetapan ‘X’. Namun, apakah zaman sekarang harus mengikuti peraturan ‘X’ juga? Jelas tidak, harus ada yang diperbaharui.

This is the end tho. Sekali lagi, mohon maaf jika ada tulisan saya yang keliru tentang hukum atau apapun. Ini hanyalah keresahan saya tentang banyaknya konflik yang terjadi di Indonesia, dan menurut saya akar masalahnya adalah dua hal yang saya tuntut di atas. Ya, beritahu pendapat anda di kolom komen yak! Terima kasih telah membaca! Hidup sekuler! 

By the way, jika anda tertarik dengan pandangan saya tentang sekulerisme (yang saya tulis dulu saat masih jaman alay SMA wkwkwk), boleh cek tulisan saya yang dulu tentang sekulerisme di "Kenapa Agama Bikin Indonesia Gak Maju-maju" [Fyi: Meskipun banyak kekurangan di tulisan tersebut, it's still worth to read!]