Setahun lebih menjalani hidup di luar kampung halaman sedikit-banyak mengubah cara gue memandang dunia. Apalagi dengan fakta bahwa gue meninggalkan kampung demi mempelajari ilmu yang super-duper keren tentang perilaku manusia, yo, Psikologi! 

Ilmu yang gue pelajari tersebut membuat gue buanyak banget menghabiskan waktu untuk menganalis diri, menganalisis perilaku orang lain dan merefleksi banyak kebiasaan yang sering gue lakukan. Nah, waktu yang gue habiskan untuk menganalisis diri tersebut pada akhirnya berpengaruh pada langkah ekstrim yang (sejujurnya) baru saja gue lakukan saat ini. Which is tentang social media. 

Ya, gue melakukan hal seperti berikut ini: 

Unfollow 97% orang yang gue follow di Instagram. 

Unfollow 80% orang yang gue follow di Twitter. 

Unfriend 70% orang di Facebook. 

Nge-remove ratusan orang di friendlist Line.

Kebanyakan orang pasti menganggap hal yang gue lakukan cukup aneh. Apalagi dengan fakta bahwa gue adalah orang yang sangat aktif di media sosial. Pertanyaan yang pertama kali ditanyakan temen gue ketika melakukan ini pastinya adalah:

NGAPAEN SIH VAN?!?!

So, di artikel ini, gue bakal ngebahas tentang alasan kenapa gue melakukan hal-hal "ekstrim" di atas. Sekaligus juga sebagai pernyataan sikap untuk temen gue yang tempo hari nanya tentang hal ini. Artikel ini juga berguna sebagai insight buat elo yang mungkin punya pengalaman yang sama dengan gue terhadap social media. Gue bakal ceritain pengalaman gue dari awal banget, supaya lo ngerti. Ok, let's begin!

Berawal dari nyuci baju.

Saat ngekost, gue punya kebiasaan yang mungkin agak berbeda daripada orang lain yang ngekost. Gue nyuci dan nyetrika sendiri. Ya, di tahun pertama kuliah, gue sama sekali gak pernah nyentuh laundry. Alasannya, karena gue merasa kurang olahraga (lol) dan nyuci baju membantu gue untuk tetap fit.

By E-One Photography
Tapi dari sana, gue mulai kewalahan. Kewalahan karena banyaknya aktivitas organisasi, kemahasiswaan, dan juga tugas akademis. Baju yang gue bawa lumayan banyak, alhasil, gue jarang menepati waktu nyuci mingguan, karena selalu ada cadangan baju. Kadang gue nyuci baju seminggu sekali, kadang dua minggu sekali, atau bahkan lebih dari tiga minggu baju kotornya gue biarin. 

Lalu, sedikit-sedikit gue mulai mikir: Ngapain ya gue bawa baju banyak-banyak? Toh baju yang sering gue pake yang itu-itu doang...

Nah, masalah yang awalnya hanya dari baju yang kebanyakan, jadi merembet ke barang-barang yang ada di kostan gue. Gue merasa gue terlalu banyak bawa perabot, barang, dan hal-hal yang tidak essential buat gue. Contohnya, gue kebanyakan bawa piring, gelas, magic-jar, dan stok makanan / minuman yang pada akhirnya gak gue makan, bahkan sampe kadaluarsa.

Dari sini, gue mulai mikir lebih jauh dan merefleksi diri. Ternyata, dalam setahun, gue cuma make 30% dari barang yang ada di kostan. Magic jar? Gak kepake, karena gue sibuk organisasi dan banyak tugas. Gue selalu makan di kantin fakultas atau warteg. Susu kaleng dan susu bubuk yang gue simpen? Hampir gak pernah gue minum, sampai-sampai setelah satu tahun pas gue mau minum, gue baru sadar bahwa susunya udah kadaluarsa. Perabotan yang gue bawa? Dari banyaknya piring, gelas, sapu, dan banyak hal lainnya, yang gue pake cuman 1 piring, 1 gelas, sapu dan lap untuk mengepel lantai. Sisanya sama sekali gak gue pake.

Lalu fakta tersebut mengundang pemikiran-pemikiran lain yang menggelitik dari benak gue. Selama ini, ternyata, banyak barang yang gak guna di kostan gue. Dan barang tersebut menimbulkan efek negatif, yaitu beban fisik dan mental. 

Karena barang yang gue bawa banyak banget, akhirnya space kamar gue jadi mengecil (makin sempit), beresin kamar lebih sulit, karena banyak spot yang ketutupin barang, dan gue juga harus nyuci baju dan nyetrika lebih banyak.

Barusan itu beban fisik, beban mental? Kamar yang sempit cenderung ngebuat gue lebih stress, barang yang tidak tersusun rapi pun membuat gue selalu kepikiran untuk ngebersihin kamar. Padahal ada tugas yang lebih penting untuk dikerjakan daripada membersihkan kamar terus menerus.

Nah, gue pun akhirnya merencanakan untuk melakukan sesuatu, yaitu mereduksi barang-barang yang ada di kostan gue. Jadi cuma barang yang sangat essential aja yang boleh ada di kamar gue, barang yang gak gue butuhin harus gue buang atau gue sumbangin ke orang yang lebih membutuhkan.

Beresin kamar: The art of letting go.

Ada satu pelajaran dari pengalaman beresin kamar untuk mereduksi barang yang gak essential: It is hard. Very hard.
Gue berulang kali nemu barang yang punya 'history' sama gue. Misalnya, vape / rokok elektrik yang gue beli seharga 600rb pas SMA, yang mana dulu itu gue harus nabung selama sebulan lebih. Atau surat cinta jaman SD yang bener-bener membangkitkan kenangan manis. Ada juga buku novel pertama yang gue beli, Memoirs of a Geisha.

Semua barang di atas sebetulnya udah sama sekali gak pernah gue pake, dan bener-bener gak essential untuk kehidupan gue di sini. Tapi bener-bener sulit untuk ngebuang atau ngasihin barang tersebut ke orang lain. Meskipun begitu, demi kesehatan fisik dan mental gue, gue tetep harus berkomitmen dan membuang barang-barang tersebut. This is the hardest part, tapi gue percaya, harus ada langkah yang dilakukan untuk menghentikan kedzaliman ini.


Minimalist lifestyle

Nah, hal di atas yang baru saja gue lakukan adalah prinsip hidup minimalis, yaitu mengurangi hal-hal yang gak penting dalam hidup gue dan memperbanyak hal yang emang penting buat gue. Salah satu prinsip yang gue suka dalam gerakan minimalistik adalah bahwa barang sebetulnya gak terlalu penting, experience-lah yang sebetulnya penting
Ya, ternyata semakin banyak barang yang gue beli, gue bawa atau gue simpen, meskipun barang tersebut 'memorial', gue malah semakin gak bahagia. Momen saat gue membuang atau memberikan barang tersebut memang momen yang sulit, gue sadar itu. Tapi, momen tersebut membebaskan gue. Gue merasa bebas dan gue merasa lebih bahagia. 

Quotes yang paling pas untuk menyimpulkan minimalist lifestyle versi gue sih adalah quotesnya Ridwan Kamil:
"Orang bisa aja miskin tapi dia happy. Jadi happy bukan soal punya duit atau tidak punya duit, kita bisa happy dengan cara yang sederhana. Minum kopi 5000an di angkringan, lesehan di trotoar, ngumpul dan bercanda, sama happy-nya dengan ngumpul di cafe mahal." - Ridwan Kamil
Jadi bukan masalah banyaknya barang atau uang yang kita punya. Kebahagiaan itu yang penting adalah mindset dan experience-nya.

Minimalist lifestyle: Apa hubungannya dengan Social Media?

Kita bisa menghubungkan minimalist lifestyle bukan hanya dengan benda fisik, tapi juga dengan kehidupan sosial. Tentunya dengan menggunakan prinsip yang sama, yaitu mengurangi hal yang gak penting dan memperbanyak hal yang penting dan essential. Nah, apakah kamu harus unfollow temen-temen lo? Mungkin jawaban pertanyaannya bisa dimulai dengan menjawab beberapa pertanyaan reflektif berikut ini:

1. Apakah social media mendekatkan lo ke tujuan hidup / cita-cita lo?
2. Gimana dampak social media pada kehidupan lo? Baik atau buruk?
3. Apakah temen-temen yang lo follow atau yang ada dalam friendlist lo ngasih dampak baik buat lo, atau malah ngasih dampak buruk? Lo makin bahagia atau malah jadi sedih pas ngeliat postingan temen lo di social media?
4. Sebenernya, social media tuh essential gak sih? Friendlist atau following lo essential gak sih? Atau malah bikin lo ngebuang banyak waktu?

Alasan-alasan inilah yang membuat gue memutuskan mengambil langkah ekstrim, yaitu dengan menghapus ratusan orang yang menurut gue gak essential untuk gue follow atau gue jadiin friend di social media

Sebab, gue merasa ketika gue ngefollow banyak orang, ya gue jadi akan banyak ngestalk, comment, like, dan sebagainya. Padahal, aktivitas seperti follow, comment, stalk, dsb. itu sama sekali gak mendekatkan gue ke cita-cita atau tujuan gue. Namun sayangnya, aktivitas tersebut lah yang menghabiskan waktu gue setiap harinya.

Akhirnya, gue mengambil sikap. Ya, this had to stop. 


Setelah ngehapus....


Nah, setelah gue menghapus buanyak banget temen dan following. Apakah itu berpengaruh buruk? Ternyata nggak sama sekali! Justru gue malah jadi bisa nanya-nanya di real-life saat ketemu temen-temen yang gak gue follow.
Eh kegiatan lo ngapain minggu ini?Ceritain dong blablabla! Gue kan gak follow lo!
dan banyak hal lainnya yang justru malah membuat gue lebih dekat dengan orang-orang di sekitar gue secara personal. Dibandingkan dengan komentar secara online lewat social media.

Well, begitulah cerita kenapa gue memutuskan untuk unfollow dan block orang-orang di social media. Gue harap lo mendapat banyak insight dari pengalaman gue. 

Like dan share yak kalo lo merasa postingan ini berguna!

See ya next time!