Di tahun 2016 ini, saya sangat senang karena diterima menjadi salah satu anggota
tim penulis di “Bunch!”. Bunch! adalah majalah yang diterbitkan oleh BEM
Psikologi UI setiap enam bulan sekali. Tema dari majalah tersebut kebetulan di
edisi yang saya kerjakan adalah “mental health” atau kesehatan mental. Tentu kesehatan
mental erat kaitannya dengan stress.
Akhirnya saya sebagai penulis ingin mencoba membawa masalah stress ini ke dalam artikel yang saya
buat.
Lalu, tiba-tiba saya terpikirkan sesuatu. Kenapa tidak bawa saja isu yang umum
terjadi dengan kehidupan pelajar? Yaitu isu kegiatan orientasi siswa dan
mahasiswa (atau lebih umum dikenal dengan OSPEK) yang memang di Indonesia
banyak dilakukan dengan kegiatan yang penuh tekanan. Ya, seperti ketika harus datang
sangat pagi, tugas yang bejibun, dimarahi oleh kakak tingkat, memakai atribut
yang mungkin bisa dibilang tidak lazim untuk dipakai sehari-hari, serta berbaris
sambil berpanas-panasan. Saya berpikir, apakah kegiatan seperti itu dapat
berdampak buruk terhadap kesehatan mental kita?
Mungkin sebelumnya kita perlu tahu terlebih dahulu tentang pengertian kesehatan
mental. Pengertian sederhananya saya kutip dari alodokter.com, kesehatan mental
yang baik adalah kondisi ketika batin kita berada dalam keadaan tenteram dan tenang,
sehingga memungkinkan kita untuk menikmati kehidupan sehari-hari dan menghargai
orang lain di sekitar, serta dapat menggunakan kemampuan atau potensi dirinya
secara maksimal dalam menghadapi stress.
Jika begitu pengertiannya, lalu apakah orientasi yang penuh tekanan itu
dapat mengganggu kesehatan mental seseorang? Menurut anda ya atau tidak?
Well.... Menurut saya, bisa iya, bisa juga tidak. Meskipun
saya tidak menyangkal bahwa orientasi di Indonesia secara umum memang
menyebabkan stress, namun mengutip dari AM-HDC (OA Line), stress sebetulnya ada
dua jenis. Pertama adalah eustress,
yaitu stress yang baik dan jumlahnya cukup, yang bisa membuat kita tertantang
dan membantu meningkatkan motivasi kita. Sedangkan stress yang kedua adalah distress, yaitu jenis stress yang
membuat kita merasa putus asa, frustrasi, dan tidak tahu keputusan apa yang
harus diambil untuk menyelesaikan stress tersebut.
Kedua jenis stress ini bisa berasal dari hal yang sama. Lalu apa
pembedanya? Nah, yang menjadi pembeda dari kedua stress barusan adalah diri
kita sendiri. Mengutip kembali dari AM-HDC, setiap individu punya toleransi
stress yang berbeda. Jika dikaitkan dengan ospek, maka bisa dibilang bahwa
ospek di satu sisi bisa jadi hal yang baik, yang meningkatkan motivasi dan
membuat siswa / mahasiswa “tertantang”. Namun, di sisi lain bisa menjadi malapetaka
yang membuat putus asa dan frustrasi.
Ya, “individual differences” pada peserta ospek lagi-lagi memunculkan pertanyaan
di benak saya.
“Apakah ospek yang umum terjadi di Indonesia ini lebih banyak efek positifnya? Atau lebih banyak efek negatifnya? Peserta ospek kan beda-beda, lalu bagaimana cara menentukan ‘toleransi’ stress yang ‘standar’ bagi semua individu?”
Mungkin sekarang perlu ada revolusi bagi masa orientasi / ospek di
Indonesia yang masih menjadi kontroversi ini. Saya sering kali mendengar ada
dua belah pihak. Ada pihak yang setuju menggunakan tekanan dengan
dimunculkannya komisi disiplin. Ada juga pihak yang tidak setuju dan ingin
seperti di negara tetangga ‘singa duduk’ sana yang mungkin tidak menggunakan
tekanan saat ospek.
Semua pendapat menurut saya tidak ada yang salah. Tapi pendapat saya, sebetulnya
kita membutuhkan stress dengan porsi yang seimbang. Tidak terlalu banyak dan
tidak terlalu sedikit stress. Coba saja bayangkan hidup tanpa stress, tanpa
deadline, dan tanpa ancaman sedikit pun. Serukah hidup seperti itu? Kita semua
sebagai bangsa Indonesia mungkin bisa mulai merefleksi sistem ospek yang kita
pakai kali ya (kalau ternyata banyak negatifnya).
Di akhir tulisan ini, izinkanlah saya mengutip lirik dari lagu dance favorit
saya.
“Give me release, let the waves of time and space surround me. Cause I need a room to breathe, let me float back to the place you found me. I’ll be okay” – Porter Robinson -Language
Hidup juga butuh stress. Maka, lepaskanlah dirimu di tengah kekacauan ini,
di tempat dan waktu kau hidup sekarang. Ya, nikmatilah hidup yang penuh dengan stress
dan masalah ini. You’ll be okay!