Suatu hari di bulan Februari di tahun 2018, saya sempat
membuat catatan singkat di kepala saya tentang kesuksesan dan kegagalan. Ya, sebuah
catatan tentang bagaimana saya bisa ada di titik di mana saya hidup sekarang
ini. Catatan itu berawal dari pertanyaan buanyak orang yang membaca blog saya
dan akhirnya memutuskan untuk mengontak saya langsung. Pertanyaan apakah itu?
Berikut adalah pertanyaan yang mungkin bisa saya rangkum:
“Kak, gimana sih caranya biar jago nulis, berpikir kritis, jadi leader, dsb? Aku dari dulu selalu coba tapi gak pernah bisa jadi hebat”
Lalu saya pun berpikir, apakah saya bisa dibilang ‘hebat’? Setelah
dipikir-pikir, ternyata tidak. Achievement
dan kemampuan saya masih sangat minim dari hal-hal yang banyak orang
tersebut tanyakan. Dan karena saya tidak beranggapan bahwa saya hebat, saya
selalu menjawab pertanyaan seperti itu dengan balasan terima kasih saja, dan
tidak membalas lagi reply orang yang
bertanya tentang hal tersebut.
Bahkan bisa dibilang sejak awal tahun 2018 ini, saya sangat
sering sekali hanya nge-read doang pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh
teman-teman pembaca Filosofi Remaja. Kesibukan akademis, kehidupan anak
kontrakan yang harus masak, nyuci, bersih-bersih sendiri, sekaligus dengan
pegangan jabatan sebagai Ketua BEM F. Psi. UI membuat saya jarang sekali aktif
menjawab pertanyaan selain urusan organisasi ataupun akademis, tidak terkecuali
pada akhirnya blog Filosofi Remaja jadi terbengkalai. Oleh karena itu, di artikel
ini pun saya ingin meminta maaf jika ada teman-teman yang merasa
tersinggung/tidak enak karena saya cuman read doang.
Saya pun sudah lama sekali tidak sempat menulis di Filosofi
Remaja. Saya bersyukur sekali followersnya entah kenapa selalu bertambah. Yah,
minimal seminggu satu followers bertambah di Facebook. Ini artinya blog saya meskipun
didiamkan pun tetap berprogress. Sayangnya, progressnya semakin hari semakin
menurun (too bad!). Inilah yang
membuat saya tidak boleh tinggal diam. Ya,
saya harus menulis lagi!
Oke, lanjut ke cerita awal. Lalu bagaimana jawaban dari
pertanyaan yang buanyak orang tanyakan tersebut? Saya memutuskan untuk menjawab
di artikel yang saya tulis sekarang.
Ya, jadi gimana sih caranya biar bisa jago nulis? Gimana
caranya supaya bisa bikin blog dengan banyak tulisan? Gimana sih caranya jadi
Ketua BEM Fakultas? Gimana sih caranya bikin banyak tulisan yang viral di
medsos? Gimana sih cara menang kompetisi nulis? dsb.
Menurut saya, pertanyaan-pertanyaan tersebut sebetulnya bisa
dirangkum menjadi:
Bagaimana cara agar kita bisa sukses/hebat dalam sesuatu hal?
Caranya? Jujur, menurut saya pribadi, tidak ada cara
spesifik untuk menjadi sukses/hebat dalam suatu hal. Jika pun ada, tentu orang-orang
akan menggunakan cara tersebut untuk menjadi hebat dan semua orang akan menjadi
hebat, bukan? Kalau kata Casey Neistat, ‘there’s
no define pathway to success’. Dan saya percaya, perkataannya terkait cara sukses
tersebut sangatlah tepat.
Tentu kita tidak bisa merencanakan semudah itu untuk jadi
hebat. Ya, susah untuk mencari rumus spesifiknya. Tidak ada yang namanya rumus saklek
untuk sukses di dunia ini.
Eits, tapi bentar dulu. Untuk apa saya buat tulisan ini
kalau saya tidak punya solusi atas pertanyaan yang diajukan barusan?
Begini, saya punya solusinya. Jadi, menurut saya kalau saja ada
hal yang boleh saya sarankan untuk menjadi sukses atau hebat dalam suatu hal, saran
tersebut hanyalah satu. Bahwa: Menjadi hebat
itu perlu habit dan kondisi lingkungan.
Kita tidak akan pernah bisa melihat narasi/cerita orang lain
yang hebat lalu mengeneralisasi begitu saja cerita orang tersebut lalu kita
adaptasi. Saya ulangi, gak bisa tiba-tiba kita ngikutin cerita
orang lain yang hebat terus kita langsung adaptasi secara teknis dan tiba-tiba
kita langsung jadi hebat. Kagak bisa bos!
Hal yang perlu kita lihat adalah dari sudut pandang yang
lebih luas dan lebih besar, bahkan kalau bisa kita lihat cerita orang-orang
hebat ini dari lahir! Ya, dari pertumbuhan dan perkembangannya sejak kecil.
Gak jarang cerita saya masuk UI yang jadi juara di lomba
blog Zenius tentang gimana Sedikit Cerita Saya tentang SBMPTN dan Jaket Kuning (klik di sini untuk tahu ceritanya!) digeneralisasi dan disimplifikasi. Dari pertanyaan yang saya terima sejak pertengahan
tahun 2015. Saya menangkap seakan-akan ketika saya bercerita bahwa saya belajar
5 jam sehari, main game online, dan pindah tongkrongan LALU ketika cara saya
belajar dan bertingkah laku ditiru maka itu adalah rumus sukses untuk SBMPTN
dan masuk UI. Padahal, tidak sama sekali.
Bukan berarti ketika Steve Jobs pakai baju turtleneck hitam yang sama setiap harinya,
lalu ketika lo pakai baju yang sama juga, lo akan jadi sesukses Steve Jobs.
Bukan berarti juga ketika saya belajar 5 jam, dan lo ikutan belajar 5 jam
sehari, maka lo akan lolos SBMPTN ke UI.
Untuk yang belum pernah baca tulisan cerita gua tentang SBMPTN, berikut adalah sedikit rangkumannya:
Intinya gua adalah anak bandel blangsakan di SMA. Akan tetapi di kelas 3 SMA gua memutuskan untuk berubah (gua mulai rajin belajar, gak nongkrong lagi, dsb.) dan pada akhirnya meskipun banyak orang bilang gua gak akan bisa masuk UI, unexpectedly, gua akhirnya masuk UI via SBMPTN.
Bisa dibilang cerita tersebut cukup inspiratif. Bahkan sampai memenangkan kompetisi blog Zenius yang pertama dan membuat banyak orang terinspirasi sampai bertanya-tanya lewat akun pribadi gua sendiri.
Nah, sejak cerita gua itu menangin kompetisi Zenius. Mulai banyaklah orang yang nanya-nanya ke akun/nomor pribadi gua, gak jarang dengan tujuan meniru cara-cara gua belajar -> Bahkan sampai ke berapa lama gua belajar, ditanyain dan dibilang akan dilakuin persis kayak gitu.
Oke, udah ngerti? Kuy lanjut!
Tanpa diketahui, padahal sebetulnya cerita saya yang lulus
SBMPTN itu tidak hanya dipengaruhi oleh kebiasaan yang saya ubah sejak kelas 3
SMA. Lebih jauh dari itu, saya rasa kesuksesan saya di SBMPTN, menulis blog,
bahkan leadership (misalnya menjadi Ketua BEM) ternyata SANGAT AMAT DIPENGARUHI
dari faktor sejak saya lahir.
Lah kok jauh banget Van dari lahir?
Ya, tanpa teman-teman semua ketahui, sejak saya berumur tiga
tahun, saya sudah belajar main game, belajar bahasa Inggris lebih cepat dari
kebanyakan anak lainnya, main PlayStation sambil belajar, main game matematika,
bahkan leadership sudah dipupuk sejak
zaman SD di mana saya selalu menjadi Ketua Murid, SMP juga, dan SMA di mana
saya juga menjadi wakil KM dan memimpin acara makrab di sekolah. Kemampuan
presentasi, public speaking, berpikir
kritis, sekaligus leadership saya pun
sudah cukup terlatih sejak SD karena saya menjadi Dokter Kecil yang sempat mewakili sekolah juga.
Tidak lupa saya juga pernah ikut olimpiade MIPA dan juara ketika saya SD.
Cerita one-shot-success
yang saya tulis di tulisan SBMPTN itu fana,
bohong, dan omong kosong. Jujur saja, basic
saya sejak kecil sudah basic akademis.
Kalau disangka saya pintar karena perilaku saya berubah saat SMA, itu bullshit. Saat SD saya selalu dapat ranking
1 setiap tahunnya, minimal ranking 3. Saya juga dapat nilai UN tertinggi di SD.
Lanjut lagi, saya pun masuk ke SMP terbaik se-Bandung Raya. Ayah dan Ibu tiri
saya yang dosen pun membuat lingkungan rumah saya penuh dengan buku, bacaan,
dan juga film ilmiah.
Kalau dilihat dari basis saya sejak kecil, apakah dapat
dikatakan bahwa pengalaman saya masuk UI merupakan pengalaman yang ‘keren’?
Ternyata tidak. Memang cerita saya di SBMPTN terkesan heroik. Terkesan saya
berubah di SMA, lalu dengan heroiknya masuk UI, dan pada akhirnya saat kuliah
menemukan jati diri, hingga akhirnya menjadi Ketua Angkatan, bahkan Ketua BEM
F. Psi. UI di tahun 2018 ini.
Apakah ini pengalaman yang ‘hebat’? Ternyata tidak. Semuanya
terbangun dari habit. Buanyak banget dari kesuksesan yang saya alami terkondisikan
dari faktor lingkungan. Dan faktor itu
terakumulasi sejak kecil!
Menulis? Saya sudah menulis sejak saya SD. Di SD saya
menulis diary. Di SMP, saya menulis di Tumblr (silahkan teman-teman lihat
tulisan saya yang sangat amburadul di sana). Dan saat SMA, mulailah saya
membuat blog. Saat kuliah lah saya pada akhirnya fokus di academic writing dan ketika
ikut kompetisi sempat juara.
Apakah rahasianya adalah kerja keras? Tidak, rahasianya
adalah faktor lingkungan yang akhirnya membiasakan (re: mengkondisikan) saya melakukan
suatu hal secara terus menerus, di antaranya adalah belajar, menulis, dsb. Ya, rahasianya adalah habit (kebiasaan)!
Nih, kalau lo coba lihat juga orang-orang yang keren parah, seperti
misalnya Mark Zuckerberg, Elon Musk, Bill Gates, dsb. Mereka pasti punya habit dan
kondisi lingkungan tertentu yang sudah mereka lakukan dan alami sejak kecil.
Misalnya, Bill Gates itu kutu buku banget. Dia suka banget baca.
Kebiasaan/habit itulah yang akhirnya bikin dia jadi pinter banget, sampai
akhirnya membuat terobosan yaitu Microsoft.
Mark Zuckerberg dan Elon Musk? Dua orang itu sudah belajar coding sejak usianya di bawah 15 tahun.
Dikutip dari salah satu jawaban di Quora oleh Pushpak Kamboj
“He learned coding from his early childhood days. His father gift him C++ for dummies as a birthday gift and from there he entered into the world of coding”
Saat kecil, Mark Zuckerberg diberikan C++ (salah satu bahasa
koding) oleh ayahnya. Dulu memang dia cupu dan gak bisa dibilang jago, tapi tentu
kondisi sejak kecil dan kebiasaan koding itulah yang membuat Mark terpikirkan
untuk membuat Facebook saat kuliah.
Sedangkan Elon Musk, dia dapat komputer pertamanya saat ia
berumur 10 tahun. Dan saat 12 tahun, karena ia sering baca buku (karena di
rumahnya tersedia banyak buku), akhirnya ia belajar koding dan akhirnya membuat
game dan menjual game tersebut. Jangan lupa kalau Elon Musk juga kutu buku. Semuanya
karena ia dikondisikan (re: dibelikan) komputer dan membaca buku programming
yang tersedia di rumahnya.
Dari cerita-cerita di atas pun, saya mulai menyadari bahwa
sebetulnya hidup itu tidak adil. Ada kesempatan yang hadir untuk beberapa
orang, dan sama sekali tidak hadir untuk beberapa orang lainnya. Ada orang yang
masa kecilnya dikondisikan untuk menjadi sukses, dan ada yang tidak.
Sorry to say bahwa
kemungkinan lo untuk sukses akan sangat amat kecil kalau lo atau orang tua lo
tidak mengkondisikan hidup lo dengan baik sejak kecil sampai dengan sekarang.
Tetapi, sukses memang tidak ditentukan hanya oleh masa
kecil. Lo bisa mengubah nasib lo
sekarang, apalagi ketika lo tahu bahwa kondisi lingkungan dan kebiasaan adalah
hal yang akan mengantar lo ke kesuksesan.
Oleh karena itu, kalau lo merasa bahwa lo belum punya basic lingkungan
dan habit tertentu yang mengkondisikan lo untuk hebat dalam suatu hal, coba
cari dan bentuk habit dan kondisi
lingukngan itu dari sekarang! Dan lakukan itu terus menerus.
Ada buku yang judulnya Outliers yang bilang bahwa bahwa kita
perlu latihan (re: deliberate practice, latihan
yang bener) selama ratusan bahkan ribuan jam untuk jadi hebat dalam suatu
bidang tertentu.
Hal ini juga jadi pelajaran buat lo semua. Ketika lo baca
tulisan orang yang tahu-tahu tiba-tiba sukses, lo harus kritis. Coba lo lihat
backgroundnya, jangan-jangan orang tersebut sukses karena memang dia
dikondisikan sejak kecil untuk jadi sukses, bukan karena hal tertentu yang ia
lakukan, buku tertentu yang tiba-tiba ia baca, produk tertentu yang ia beli,
atau cara tertentu yang ia lakukan. Bukan!
Sejak saat ini, jangan percaya dan tiru lagi cara tertentu
orang-orang untuk jadi sukses/hebat dalam suatu hal. Lihatlah bigger
picturenya. Apa sih habit yang orang tersebut lakukan? Dan apa kondisi
lingkungan yang menyebabkan ia menjadi hebat dalam hal tersebut?
Kalau saya mengutip psikolog terhebat yang pernah ada
(menurut saya) dari aliran Behaviorism, yaitu John B. Watson,
“Give me a dozen healthy infants, well-formed, and my own specified
world to bring them up in and I’ll guarantee to take any one at random and
train him to become any type of specialist I might select—doctor, lawyer,
artist, merchant-chief and, yes, even beggar-man and thief, regardless of his
talents, penchants, tendencies, abilities, vocations, and race of his
ancestors. (1930)”
Ya, saya percaya bahwa semua manusia
bisa menjadi apa saja, jika dikondisikan dan dibiasakan.
Dan saya pun percaya, bahwa habit dan kondisi lingkungan bukan hanya dapat diubah, dibuat, dan
dikondisikan oleh orang lain saja
(orang tua, guru, teman, dsb.), tapi
juga dapat dibentuk oleh diri kita sendiri.
Bangun habit dan kondisi lingkungan lo dengan baik, dan lo
akan menjadi sukses/hebat dari habit yang lo bangun tersebut.
Camkan bahwa untuk menjadi hebat, waktu sehari, sebulan,
atau setahun tidaklah cukup. Menjadi hebat tidak sama seperti memasak mie
instan. Butuh proses, butuh waktu, butuh habit dan usaha (yang mungkin juga
tidak dapat dilihat oleh orang lain)
Sekian dan salam hangat,
Ifandi Khainur Rahim.
Filosofi Remaja,
Mengubah Paradigma Remaja Indonesia Menjadi Lebih Baik